“Mau jadi orang pintar di negeri ini susah sekali”
Setahun sudah Pemilihan Presiden 2024 berlalu. Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran, resmi memimpin negara ini sejak dilantik Oktober lalu. Hanya dalam waktu beberapa bulan saja, sudah ada banyak kejadian menyakitkan.
Baru-baru ini yang sedang ramai dan menuai kritik masyarakat adalah isu bahwa pemerintah tengah mengencangkan efisiensi anggaran. Sektor-sektor krusial pun terdampak, salah satunya pendidikan. Dampaknya, 663.821 dikhawatirkan akan terancam putus kuliah akibat pengurangan anggaran. Bahkan, KIP-K yang selama ini menjadi tumpuan bagi mahasiswa kurang mampu pun terancam ditiadakan. Tidak hanya itu, para penerima beasiswa BPI Luar Negeri — yang kemungkinan sebagian besar adalah dosen — juga terancam telantar di negara orang.
Ada banyak kejadian lagi yang mengiris hati. Sebut saja, tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN yang batal dibayarkan. ASN yang sebelumnya — mungkin termasuk golongan silent majority — pun akhirnya turun ke jalan, menuntut hak-haknya yang ditahan oleh pemerintah. Bayangkan, dosen, ASN, profesi yang kata orang tua dan calon mertua adalah dambaan, tapi di pemerintahan ini ternyata kena getahnya juga, ikut merasakan ketidakstabilan.
Berkaca dari kejadian-kejadian itu, tidak berlebihan kiranya jika saya mengatakan “Mau jadi orang pintar di negeri ini susah sekali”. Bayangkan, bagaimana jika seandainya kebijakan efisiensi anggaran itu benar-benar disahkan. Ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan anak akan kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan yang layak. Padahal, pendidikan sudah seyogyanya adalah hak bagi warga negara. Tapi nyatanya, di negeri ini, pendidikan ibarat suatu barang mewah yang tidak bisa dijangkau semua orang.
Jika ada yang mengatakan “Pemerintah sengaja memelihara orang miskin dan orang bodoh di negeri ini”, agaknya saya cukup setuju. Sebab, orang miskin seringkali tidak memiliki pilihan lain. Pun demikian, orang bodoh yang dengan mudah disetir penguasa.
Nampaknya, rezim ini memang sedang berusaha membunuh ilmu pengetahuan, menyingkirkan pendidikan agar tak ada lagi orang-orang yang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Dampaknya, kepakaran mulai mati. Pakar-pakar dan ahli seolah tidak ada lagi harga dirinya di hadapan negara, suaranya tak didengar, keahliannya tak diakui. Alih-alih mendengar mereka, para pejabat dan pemangku kebijakan justru memilih melangkah dengan arah yang tidak jelas ke mana.
Pada akhirnya, sebagai rakyat biasa yang tidak pernah didengar, saya dan mungkin kita, hanya bisa berdoa agar negara ini tidak semakin kacau. Semoga huru-hara dan drama tidak jelas yang ada di negara ini segera pergi. Pemerintah, mbok ya kerja yang bener. Cukup beri bukti bahwa kebijakan yang kalian buat itu jelas dan bermanfaat. Kalau seperti ini, jangan salahkan jika rakyatmu terus bertanya, “Negara ini mau dibawa ke mana?”