Melihat Segregasi Etnis Tionghoa di Pulau Jawa dalam Kacamata Historis

Yulia R.
3 min readMay 6, 2022

--

Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, etnis Tionghoa sudah lebih dulu mendiami sebagian wilayah Indonesia, tak terkecuali Pulau Jawa. Keberadaan etnis Tionghoa di Jawa tidak terlepas dari proses perdagangan juga migrasi yang terjadi pada awal abad masehi.

Berdasarkan catatan sejarah, keberadaan etnis Tionghoa di Jawa teridentifikasi di wilayah-wilayah pesisir, seperti Tuban, Rembang, Jepara, Gresik, dan Banten, yang notabene merupakan wilayah bekas pelabuhan penting pada masanya. Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan keramik-keramik yang disinyalir berasal dari negeri Tirai Bambu.

Pada awalnya, imigran-imigran dari Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa mulai berbaur dengan penduduk setempat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengadakan perkawinan dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keturunan Tionghoa-Jawa. Dari sinilah muncul istilah ‘Cina Peranakan’.

Ketika VOC datang ke Indonesia, terjadi sensitivitas terhadap etnis Tionghoa yang disebabkan oleh persaingan ekonomi. Tak dapat dipungkiri bahwa etnis Tionghoa memiliki andil besar dalam bidang perekonomian, bahkan sejak awal abad masehi, mereka telah aktif berkelana berdagang dan menunjukkan hegemoni dalam perdagangan. Hal itu tentu membuat VOC iri.

Munculnya Segregasi Etnis

Terjadinya segregasi etnis oleh pihak kolonial berawal dari pembantaian etnis Tionghoa oleh pihak Belanda yang terjadi pada tahun 1740 di Batavia. Ketika terjadi krisis kas VOC akibat kalah saing dengan kongsi dagang Inggris (EIC), Belanda yang awalnya menganggap orang Tionghoa selalu membawa keuntungan, perlahan menganggap mereka sebagai ancaman. Alhasil, empunya kebijakan mulai mencabut segala bentuk hak istimewa yang menjadi asal-muasal pemberontakan orang tionghoa pada 1740.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk membatasi gerak orang-orang Tionghoa dan peranakan dalam bidang perekonomian. Namun, kebijakan tersebut justru berbalik kepada pihak Belanda sendiri. Sekelompok etnis Tionghoa yang merasa dirugikan oleh kebijakan Belanda perlahan-lahan mulai mengusik kegiatan pihak Belanda, hingga muncul pemberontakan-pemberontakan kecil yang semakin lama semakin membesar. Dari sinilah pihak Belanda mulai bertindak hingga melakukan pembantaian terhadap ribuan orang dari etnis Tionghoa selama 13 hari.

Kekacauan yang terjadi di Batavia kemudian menjalar ke wilayah lain di Jawa. Maka dari itu, sejak pembantaian terjadi, pihak Belanda mengeluarkan kebijakan yang menyebabkan terisolasinya etnis Tionghoa dari pihak luar, termasuk dengan etnis Jawa yang sejak dulu sudah membaur. Pihak Belanda kemudian mulai mengkotak-kotakkan pemukiman penduduk berdasarkan etnisnya.

Pada tahun 1816 dikeluarkanlah sistem passenstelsel atau sistem pas jalan. Setiap orang Tionghoa diwajibkan memiliki kartu pas jalan apabila mereka akan mengadakan perjalanan ke luar daerah. Kebijakan tersebut kemudian disusul oleh kebijakan Wijkenstelsel yang dikeluarkan pada tahun 1843. Wijkenstelsel merupakan peraturan yang mengharuskan setiap kelompok tenis tertentu berdiam atau bermukim di wilayah masing-masing. Dengan peraturan ini, etnis Tionghoa hanya diperbolehkan bermukim secara kolektif dalam wilayah pecinan. Adanya kebijakan passenstelsel dan wijkenstelsel berimplikasi pada semakin terisolasinya etnis Tionghoa dari penduduk setempat.

Penyebab Segregasi Etnis

Setidaknya terdapat dua penyebab mengapa pihak kompeni Belanda melakukan kebijakan segregasi etnis, khususnya pada etnis Tionghoa. Pertama, segregasi etnis ini ditujukan sebagai pendataan penduduk berdasarkan etnis untuk menghindari adanya percampuran berbagai bangsa. Hal ini tidak hanya dilakukan pada etnis Tionghoa saja, tetapi juga pada etnis lain seperti Arab hingga India.

Kedua, alasan pihak Belanda melakukan segregasi etnis ialah untuk memudahkan kontrol terhadap mereka. Pihak Belanda beranggapan bahwa apabila etnis-etnis ini dibiarkan membaur, dikhawatirkan mereka akan bersatu untuk menyerang balik pihak kompeni Belanda. Oleh karena itu, pihak Belanda memisahkan tiap etnis agar lebih mudah untuk mengawasi dan mengontrol khususnya dalam gerakan-gerakan sosial, politik, dan ekonomi.

Dampak Segregasi Etnis hingga Kini

Adanya kebijakan segregasi etnis di masa VOC hingga pemerintaha kolonial Belanda ini disinyalir menjadi cikal bakal rasisme dan munculnya stigma-stigma tertentu pada etnis Tionghoa di Indonesia. Peristiwa segregasi ini seolah terjadi secara turun temurun dan terus menerus, misalnya yang terjadi di era orde baru (Soeharto) yang begitu diskrimnatif terhdap etnis Tionghoa. Tidak hanya itu, segregasi etnis yang berkelanjutan berakibat pada munculnya stigma-stigma seperti stigma eksklusif yang disematkan pada etnis Tionghoa. Hal ini menyebabkan sensitivitas masyarakat pribumi meningkat.

--

--

Yulia R.
Yulia R.

Written by Yulia R.

Indonesia | Historian (to be) | Cat-lover

No responses yet