Dari ‘Sakti’ ke ‘Sakit’: Sebuah Introduksi Singkat Sejarah Sosial Disabilitas

Yulia R.
6 min readMay 6, 2022

--

Suatu hari, ketika saya sedang melaksanakan tahapan heuristik atau penelusuran sumber dalam penelitian, tiba-tiba saja saya menemukan sebuah topik menarik dalam sebuah artikel berjudul “Kebijakan terhadap Difabel Abad 17–19”. Sebagai seorang yang masih amatir dalam bidang sejarah, tentu saja kajian-kajian semacam ini cukup asing di kepala saya, terlebih selama ini — di sekolah terutama — hanya dicekoki perihal sejarah Indonesia yang monoton.

Bermula dari artikel tersebut, rasa penasaran saya semakin dalam. Alhasil, saya mencoba untuk menelusuri dan mencari sumber yang relevan. Dan ya, tulisan ini adalah sebagai manifestasi dari hasil penelusuran saya — yang barang kali masih minim dan banyak kekurangan. Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan sebuah pengantar dan sedikit gambaran, bagaimana sejarah menempatkan para penyandang disabilitas dalam kultur dan sosial masyarakat, khususnya dalam kalangan pribumi di Jawa.

Tunggu dulu. Mari kita melihat realitas di masa sekarang~

Isu disabilitas hingga kini masih menjadi sebuah diskursus yang kompleks. Isu ini lagi dan lagi menyangkut persoalan struktural dalam sosial masyarakat yang seolah dengan otomatis memarjinalkan dan mendiskriminasi kaum penyandang disabilitas dalam berbagai bidang. Posisi yang tidak menguntungkan terkadang menyebabkan minimnya opsi untuk bertahan hidup di lingkungan sosial. Berbagai bentuk diskriminasi pun kerapkali dialamatkan kepada mereka, mulai dari bullying, pengucilan, diskriminasi pendidikan, serta minimnya lapangan pekerjaan yang mau menerima mereka.

Permasalahan diskriminasi dan marjinalisasi kaum penyandang disabilitas, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini disebabkan oleh adanya faktor sosial-budaya, faktor ekonomi, serta faktor lemahnya kebijakan dan penegakan hukum yang tidak memihak kelompok disabilitas. Faktor sosial-budaya berkaitan dengan simbol-simbol dan identitas sosial dalam masyarakat yang terbentuk secara sistematis dan struktural — yang kemudian termanifestasi dalam stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.

Dalam tatanan global, persoalan ini sebenarnya sudah mendapatkan perhatian khusus yang ditandai dengan ditetapkannya tanggal 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Sedunia. Selain itu, telah ada peraturan internasional yang mengatur hak-hak difabel atau penyandang disabilitas, yang termuat dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konvensi ini telah dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 (selanjutnya disingkat UU №19/2011) tentang Pengesahan CRPD. Adapun tujuan dari konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan sosial-masyarakat.

Bagaimana sosial-masyarakat mengkonsepsikan para penyandang disabilitas sebenarnya dapat ditarik mundur dari tinjauan historis setiap kelompok masyarakat. Di Eropa misalnya, kelompok masyarakat dengan disabilitas tereliminasi dan bahkan mendapatkan perlakuan yang lebih buruk. Penyandang disabilitas dimasukkan ke dalam penjara, dihabisi di ruang gas beracun seperti pada sekitar tahun 1940 terjadi peristiwa Holocaust di Jerman di mana Nazi yang menganggap ras Arya adalah ras terbaik dan tertinggi akan melakukan pembersihan karena mereka adalah ras sempurna. Pembantaian atau pembunuhan massal dilakukan terhadap mereka yang dianggap tidak sempurna seperti halnya penyandang difabilitas dengan suntik mati atau dimasukkan ke kamar gas untuk dibunuh dan bahkan mereka dijadikan eksperimen para dokter.

Mari Kembali ke Belakang~

Di Indonesia, konsepsi tentang kaum penyandang disabilitas juga bisa jadi berbeda, bergantung pada aspek historis dan sosial-budaya kelompok masyarakat tertentu. Di Jawa misalnya, pada masa kerajaan-kerajaan tradisional, penyandang disabilitias dikonsepsikan sebagai sosok yang memiliki kesaktian, keunikan, dan tidak serta merta dipandang secara rendah. Peter Carey dalam tulisannya yang berjudul ‘A mischievous young rogue and a dwarf’: Reflections on the role of the panakawan in the Age of Prince Diponegoro (1785–1855) memaparkan tentang tokoh panakawan atau pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, yaitu Roto dan Bantengwareng yang secara fisik memiliki kelainan. Bantengwareng digambarkan sebagai sosok yang kerdil, tetapi memiliki loyalitas, ketekunan, kegigihan, dan kapabilitas yang baik sehingga ia mampu menjadi panakawan dan menemani Pangeran Diponegoro bahkan sampai akhir hayat di pengasingan, di Makassar, tahun 1850-an.

Di sisi yang lain, respons budaya Jawa terhadap disabilitas juga tidak sepenuhnya negatif. Sebagaimana dijelaskan di atas, disabilitas seseorang misalnya juga diasosiasikan dengan kekuatan supranatural atau kesaktian. Dalam masyarakat Jawa, tubuh adalah bagian penting dari tata kosmos dan berpengaruh pada bagaimana kosmos itu terbentuk, bergerak bersirkulasi membentuk sebuah harmoni dan keseimbangan yang menjadi idaman masyarakat Jawa. Dalam konteks inilah, difabel menempati posisi yang signifikan. Asosiasi disabilitas dengan kekuatan supranatural juga dapat ditemukan pada simbol-simbol dalam pemerintahan Jawa dahulu. Sebagaimana diberitakan oleh Ben Anderson, dalam kerajaan Jawa ditemukan koleksi orang-orang aneh: kerdil, cacat, dan difabel yang lain, yang diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian yang diampu oleh sang raja. Kaum difabel ini juga menjadi bagian penting pada upacara-upacara yang digelar di keraton, misalnya orang-orang kerdil dan cacat yang selalu tampil sebagai pembawa pusaka dan sebagai peneguh kesaktian sang raja.

Ilustrasi seorang Bupati dengan pengikutnya, antara tahun 1830–1850 | Sumber: Peter Carey, A mischievous young rogue and a dwarf’: Reflections on the role of the panakawan in the Age of Prince Diponegoro (1785–1855)

Namun demikian, konsepsi menarik tentang kaum disabilitas di Jawa ini kemudian segera berubah ketika kekuasaan kolonial semakin mendominasi. Penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang tidak produktif sehingga mengalami diskriminasi dan marjinalisasi. Diskriminasi dan marjinalisasi oleh kolonial tersebut semakin menguat terlebih apabil penyandang disabilitas adalah orang pribumi. Penduduk pribumi dengan disabilitas sering kali mengalami ketidakberuntungan ganda sebab kondisi abnormalitas dan perbedaan ras sehingga termarjinalisasi secara signifikan dalam lingkungan masyarakat. Dalam bidang sosial, pribumi penyandang disabilitas menghadapi berbagai tantangan dalam hal akses dukungan dan pelayanan, bantuan dana kesejahteraan, rasisme sistemik, hingga kondisi-kondisi sosial lainnya yang berpotensi memperburuk kondisi kesehatan. Adanya determinasi sosial dalam bidang kesehatan itu sering kali menjadi penyebab besarnya risiko terjangkit penyakit kronis, bunuh diri, hingga kematian pada penduduk pribumi disabilitas.

Ketika hegemoni kekuasaan kolonial terbangun dan mendominasi, konsepsi disabilitas kemudian berubah. Konsepsi tentang kaum disabilitas yang semula — dalam kultur masyarakat Jawa — dianggap sakti, selanjutnya berubah dan diasosiasikan sebagai kelompok ‘orang sakit’. Dengan pendekatan medis baratnya, mereka dianggap sebagai orang sakit dan ditempatkan di rumah sakit. Bangsal khusus difabel di rumah sakit pun mulai dibangun yang sekaligus menandakan dimulainya program medikalisasi disabilitas.

Oleh karena dianggap sebagai manusia yang memiliki tubuh sakit, maka langkah untuk menangani difabel adalah melalui perawatan dan rehabilitasi. Penempatan kaum disabilitas di rumah sakit merupakan bagian dari program medikalisasi kolonial, yaitu sebuah proses mendefinisikan dan memperlakukan masalah nonmedis sebagai masalah medis, sehingga kunci dari medikalisasi adalah pendefinisian suatu isu. Dalam praktiknya, medikalisasi menggunakan istilah dan bahasa medis untuk mendeskripsikan masalah, mengadopsi kerangka kerja medis untuk memahami masalah, atau menggunakan intervensi medis untuk “mengobatinya”. Pada akhirnya, medikalisasi menjadi sebuah alat untuk melegitimasi sosial kontrol terhadap kaum disabilitas di masyarakat.

Seiring dengan diterapkannya kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20, terjadi pula perubahan kebijakan yang diselaraskan dengan tiga poin utama politik etis, yaitu pendidikan, irigasi, dan migrasi. Meskipun diskriminasi dan juga stigma negatif masih ada, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah kolonial juga telah memberikan perhatian terhadap pribumi Jawa penyandang disabilitas. Hal ini ditandai dengan dibangunnya sekolah-sekolah khusus disabilitas, seperti sekolah bagi kelommpok tuna netra di Bandung, yaitu Blinden Instituut (1901) yang kemudian berubah menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Wyata Guna Bandung. Selain itu, sebuah sekolah khusus bagi anak tuna rungu­wicara putri juga didirikan di kota Wonosobo, Jawa Tengah, pada sekitar tahun 1930-an.

Kunjungan Gubernur Jendral B.C. de Jonge di Blinden Institutt Banding, circa 1930

Dalam historiografi Indonesia, seolah sejarah disabilitas memang telah tertutupi oleh dominasi sejarah orang-orang besar. Padahal, kajian tentang sejarah disabilitas perlu menjadi perhatian khusus, sebagai sebuah refleksi dalam menentukan arah kebijakan yang menyasar kelompok ini. Terlebih lagi, kesetaraan dan inklusivitas dalam berbagai bidang di era ini tengah gencar-gencarnya diupayakan. Dengan demikian, mempelajari sejarah disabilitas tentunya menjadi poin khusus dan penting. Selain untuk melihat kondisi dan kebijakan terhadap kelompok tersebut di masa lalu, kita juga barang kali dapat melihat bagaimana mindset dan perspektif terhadap penyandang disabilitas ini terbentuk.

[1] Rikho Afriyandi dan Fadli Rahman, “Difabel dalam Kitab Tafsir Indonesia Kontemporer,” Syams: Jurnal Studi Keislaman 1, no. 2 (2020): 80–88, http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/syams.

[2] Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang Disabilitas Menurut Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD),” Jurnal Inovatif VIII, no. 1 (2015): 17–29, https://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/2191.

[4] Nurul Saadah Adriani, “Kebijakan Responsif Difabilitas: Pengarusutamaan Managemen Kebijakan di LevelDaerah, Nasionaldan Internasional.,” Jurnal PALASTREN 09, no. 1 (2016).

[5] Peter Carey, “A mischievous young rogue and a dwarf ’: Reflections on the role of the panakawan in the Age of Prince Diponegoro ( 1785–1855 ),” Indonesia Journal of Disability Studies 1, no. 1 (2014): 71–75.

[6] Ro’fah, “Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur,” Jurnal Difabel 2, no. 2 (2015).

[7] Karina Czyzewski, “Colonialism as a broader social determinant of health,” International Indigenous Policy Journal 2, no. 1 (2011), https://doi.org/10.18584/iipj.2011.2.1.5.

[9] P. Conrad, “Medicalization and Social Control,” Annual Review of Sociology 18, no. 1 (1992): 209–32, https://doi.org/10.1146/annurev.so.18.080192.001.

--

--

Yulia R.
Yulia R.

Written by Yulia R.

Indonesia | Historian (to be) | Cat-lover

No responses yet